وَ اَحْسِنُوْا، اِنَّ اللهَ يُحِبُّ اْلمُحْسِنِيْنَ
Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. [QS. Al-Baqarah : 195]Ada hadits yang pendek namun sarat makna, sering diungkap dan motivasi taktis bagi iman yang sedang turun. Dikutip Imam Suyuthi dalam bukunya Al-Jami’ush Shaghir.
عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس
Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)Persiapan Menuju Manusia Bermanfaat
Untuk bisa menjadi orang yang banyak manfaat kepada orang lain, kita perlu menyiapkan beberapa hal dalam diri kita.
Pertama, tingkatkan derajat keimanan kita kepada Allah swt. Sebab, amal tanpa pamrih adalah amal yang hanya mengharap ridho kepada Allah. Kita tidak meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah swt. saja balasannya. Ketika iman kita tipis terkikis, tak mungkin kita akan bisa beramal ikhlas Lillahi Ta’ala.
Ketika iman kita memuncak kepada Allah swt., segala amal untuk memberi manfaat bagi orang lain menjadi ringan dilakukan. Bilal bin Rabah bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin. Namun kepadanya, Rasulullah saw. memerintahkan untuk bersedekah. Sebab, sedekah tidak membuat rezeki berkurang. Begitu kata Rasulullah saw. Bilal mengimani janji Rasulullah saw. itu. Ia tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang dimiliki dalam keadaan sesulit apapun.
Kedua, untuk bisa memberi manfaat yang banyak kepada orang lain tanpa pamrih, kita harus mengikis habis sifat egois dan rasa serakah terhadap materi dari diri kita. Allah swt. memberi contoh kaum Anshor. Lihat surat Al-Hasyr ayat 9. Merekalah sebaik-baik manusia. Memberikan semua yang mereka butuhkan untuk saudara mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika kaum Muhajirin telah mapan secara financial, tidak terbetik di hati mereka untuk meminta kembali apa yang pernah mereka beri.
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung (QS.Al Hasyr : 9)
Yang ketiga, tanamkan dalam diri kita logika bahwa sisa harta yang ada pada diri kita adalah yang telah diberikan kepada orang lain. Bukan yang ada dalam genggaman kita. Logika ini diajarkan oleh Rasulullah SAW. kepada kita.
Suatu ketika Rasulullah SAW menyembelih kambing. Beliau memerintahkan seoran sahabat untuk menyedekahkan daging kambing itu. Setelah dibagi-bagi, Rasulullah SAW. bertanya, berapa yang tersisa. Sahabat itu menjawab, hanya tinggal sepotong paha. Rasulullah SAW. mengoreksi jawaban sahabat itu. Yang tersisa bagi kita adalah apa yang telah dibagikan.
Begitulah. Yang tersisa adalah yang telah dibagikan. Itulah milik kita yang hakiki karena kekal menjadi tabungan kita di akhirat. Sementara, daging paha yang belum dibagikan hanya akan menjadi sampah jika busuk tidak sempat kita manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika kita makan. Begitulah harta kita. Jika kita tidak memanfaatkannya untuk beramal, maka tidak akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan habis lapuk karena waktu, hilang karena kematian kita, dan selalu menjadi intaian ahli waris kita. Maka tak heran jika dalam sejarah kita melihat bahwa para sahabat dan salafussaleh enteng saja meng-infakkan uang yang mereka miliki di jalan Allah swt. Sampai sampai tidak terpikirkan untuk menyisakan barang sedirham pun untuk diri mereka sendiri.
Keempat, kita akan mudah memberi manfaat tanpa pamrih kepada orang lain jika dibenak kita ada pemahaman bahwa sebagaimana kita memperlakukan seperti itu jugalah kita akan diperlakukan. Jika kita memuliakan tamu, maka seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika bertamu. Ketika kita pelit ke tetangga, maka sikap seperti itu jugalah yang kita dapat dari tetangga kita. Marilah ber-empati, membayangkan apa akibat yang kita lakukan kepada orang lain. Sehingga bisa menjadi lebih baik di kemudian hari.
Kelima, untuk bisa memberi, tentu Anda harus memiliki sesuatu untuk diberi. Kumpulkan bekal apapun bentuknya, apakah itu finansial, pikiran, tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air, kita bisa memberi minum orang yang haus. Jika punya ilmu, kita bisa mengajarkan orang yang tidak tahu. Ketika kita sehat, kita bisa membantu beban fisik orang lain.
Marilah kita bersosialisasi, bermuamalah sesuai yang telah disyariatkan Allah swt. Orang yang benar-benar menuju taqwa bukanlah sekedar rajin ibadah tetapi juga rajin “membuktikan” hasil ibadah dengan perilaku sosial yang shaleh, bermanfaat bagi ingkungannya.
Jika sobat merasa tidak/belum/kurang bermanfaat bagi manusia lain, bahkan selalu menjadi kerugian bagi orang lain. Wajibkan diri introspeksi dan perbaiki diri. Karena itulah jalan pembuktian keimanan yang sebenarnya.
Semoga bermanfaat
Nice... perlu diaplikasikan ney...
egois musuh terbesar diri kita